Darimulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah bila Buya Hamka hendak keluar. Karena cinta adalah kehormatan. Maka melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, "Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.". Hebat !!, Bpk Quraish Shihab berani menyatakan bahwa jilbab tidak melegalkan pernyataannya tersebut maka Bpk Quraish Shihab berlindung dibalik empat pernyataannya yang aneh Pertama Ada ulama yang menyatakan jilbab tidak wajibBpk. Quraish Shihab berkata Saya beranggapan jilbab baik. Tetapi jangan paksakan orang pakai jilbab karena ada ulama yang berpendapat bahwa jilbab tidak wajib. Ada ulama yang berkata wajib menutup aurat. Sedangkan aurat diperselisihkan oleh ulama apa itu auratKedua Jilbab merupakan pakaian Quraish Shihab berkata Ah, ada juga ulama yang berkata, 'yang penting itu pakaian terhormat'Ketiga Berdalil dengan istri Buya Hamka yang tidak berjilbabBpk Quraish Shihab berkata Eh ini orang pakai jilbab sejak tahun berapa toh ini? kira-kira 20-30 tahun belakangan ini... Dulu itu istrinya Buya Hamka pakai jilbab atau tidak?...Aisyiyyah Muhammadiyah pakai jilbab atau tidak? Muslimat NU pakai jilbab atau tidak? Itu pertanda bahwa sebenarnya ulama beda pendapatKeempat Membenarkan pembolehan melepas jilbab dengan mengesankan bahwa penggunaan jilbab itu melebihi yang dikehendaki oleh Tuhan. Bpk. Quraish Shihab berkata Jadi berjilbab baik, bagus. Tetapi boleh jadi sudah melebihi apa yang dikehendaki oleh TuhanSilahkan lihat pernyataan-pernyataan Bpk Quraish Shihab tersebut di Video iniKRITIKAN Sungguh ironi pernyataan jilbab tidak wajib keluar dari seseorang yang dianggap tokoh agama di tanah air kita ironi lagi pernyataan ini disebarkan oleh media televisi yang entah ditonton oleh berapa juta wanita ironi lagi pernyataan seperti ini muncul ditengah-tengah kondisi Indonesia yang tersebar pengumbaran aurot wanita, pornografi, zina, pacaran, dan lain-lain yang diharamkan oleh syari'at meskipun Bpk Quraish Shihab tidak setuju dengan pengumbaran aurat yang berlebihan akan tetapi sah-sah saja jika yang dibuka hanya leher, rambut, betis , sebagaimana yang dipraktikan oleh seperti ini akan benar-benar dimanfaatkan oleh para wanita yang ingin mengumbar aurat wanita yang tidak berjilbab gembira telah menemukan argumen untuk tetap tidak berjilbab...Para wanita yang tidak berjilbab menemukan dalih untuk mencibirkan wanita yang berjilbab dengan pernyataan Bpk Quraish Shihab Jadi berjilbab baik, bagus. Tetapi boleh jadi sudah melebihi apa yang dikehendaki oleh TuhanPara wanita yang mengumbar aurotnya semakin memantapkan keyakinan mereka "Yang penting adalah hati, bukan penampilan luar" atau "Jilbabkan dulu hatimu sebelum menjilbabkan rambutmu" Dan yang paling ironi adalah Bpk Qurasih Shihab telah melakukan pengkaburan ilmiah terhadap publik dengan logika berargumen yang berisi beberapa ketidak amanahan Pernyataan Quraish bahwasanya ada ulama yang berpendapat bahwa jilbab tidak wajib. Ini merupakan pernyataan yang tidak benar. Kita tidak pernah menemukan dalam literatur fikih manapun, dari madzhab manapun yang menyebutkan ada ulama yang berpendapat bahwa jilbab tidak wajib. Maka kami meminta kepada Bpk Quraish Shihab untuk menyebutkan ulama siapakah yang ia maksudkan tidak mewajibkan jilbab?, dalam buku fikih manakah?.Ataukah yang dimaksud dengan ulama oleh Bpk Quraish Shihab adalah para pemikir kontemporer semacam Mbak Musdah Mulia??. Kalau toh ada ulama yang diakui dalam dunia Islam yang berpendapat tidak wajib memakai jilbab maka apakah lantas perkataannya dianggap? atau bahkan diikuti?. Apakah setiap ada pendapat yang nyeleneh lantas dianggap sebagai permasalahan khilafiyah yang selanjutnya dijadikan sebagai argumen sebagai pelegalan terhadap pendapat yang nyeleneh tersebut? Saya sangat yakin bahwa Bpk Quraish Shihab mengerti betul "metode pembahasan Islami" yang ilmiah, terutama pembahasan tentang permasalahan-permasalahan yang bukan permasalahan baru dan ternyata sudah terdapat dalam kitab-kitab para ulama terdahulu. Pembahasan Ilmiyah mengkonsekuensikan untuk menukil pendapat-pendapat para ulama terdahulu, sehingga jelas bagi para pembaca jika memang perkara tersebut merupakan perkara yang telah disepakati ataukah diperselisihkan oleh para mengesampingkan pendapat para ulama terdahulu, lalu bersandar kepada pendapat para pemikir Islam kontemporer, sementara permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan klasik seperti hukum jilbab maka ini adalah kesalahan dalam metode pembahasan ilmiyah. Saya rasa Bpk Quraish Shihab adalah seseorang yang menjunjung metode ilmiyah dalam pembahasan Islami. Tidak dipungkiri bahwasanya ada khilaf diantara para ulama fiqih, akan tetapi khilaf mereka hanya pada wajah, telapak tangan, dan tumit kaki, apakah merupakan aurot wanita atau bukan. Namun mereka semua sepakat akan wajibnya jilbab untuk menutupi seluruh anggota tubuh yang ulama ketika menafsirkan firman Allah إِلاَّ ماَ ظَهَرَ مِنْهَا “ kecuali bagian yang tampak” berselisih pendapat. Hal itu dikemukakan oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab Nailul Authar. Beliau berkata وقد اختلف في مقدار عورة الحرة فقيل جميع بدنها ما عدا الوجه والكفين وإلى ذلك ذهب الهادي والقاسم في أحد قوليه والشافعي في أحد أقواله وأبو حنيفة في إحدى الروايتين عنه ومالك . وقيل والقدمين وموضع الخلخال وإلى ذلك ذهب القاسم في قول وأبو حنيفة في رواية عنه والثوري وأبو العباس وقيل بل جميعها إلا الوجه وإليه ذهب أحمد بن حنبل وداود . وقيل جميعها بدون استثناء وإليه ذهب بعض أصحاب الشافعي وروي عن أحمد"Maka telah diperselisihkan tentang kadar aurot wanita yang merdeka.Pertama Dikatakan seluruh tubuhnya adalah aurot selain wajah dan kedua telapak tangan. Dan ini adalah pendapat Al-Hadi, salah satu dari dua pendapat Al-Qooshim, salah satu dari pendapat Asy-Syafi'i, salah satu riwayat dari dua riwayat dari Abu Hanifah, dan pendapat Malik.Kedua Dikatakan pula bahwa yang termasuk bukan aurot wanita adalah kedua kakinya dan tempat gelang kaki yaitu di atas tumit dan dibawah mata kaki-pen. Ini adalah salah satu pendapat Al-Qosim, salah satu riwayat dari Abu Hanifah, Ats-Tsaury, Abul 'Abbas.Ketiga Dan dikatakan pula bahwa aurot wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah. Ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal dan Dawud.Keempat Dan dikatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurot tanpa ada pengecualian. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Syafi'i dan diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal. Nailul Awthoor 2/54 Dari perbedaan para ulama tersebut nampak sesungguhnya tidak mengarah kepada perbedaan yang mencolok seperti bolehnya memperlihatkan rambut, dada, perut maupun paha. Perbedaan mereka hanya terletak pada muka, dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan sampai pergelangan. lihat pula Al-Isidzkaar 1/1008-109, Bidaayatul Mujtahid 1/115Kedua Pernyataan Quraish Shihab bahwasanya ada ulama yang menyatakan "Yang penting itu pakaian terhormat" Kembali lagi kami bertanya kepada Bpk Quraish, siapakah ulama yang ia maksudkan?, apakah Musdah Mulia?, ataukah tokoh liberal yang lainnya?Ataukah ini adalah pengkaburan ilmiyah terhadap publik?Jika pakaian yang disyari'atkan adalah pakaian terhormat, maka hal ini tentunya merupakan perkara yang relatif. Terhormat menurut siapa?, menurut kaum eropakah?, atau menurut suku Asmat kah?. Bukankah di Amerika berpakaian dengan menampakkan paha dan sedikit lekukan buah dada merupakan pakaian terhormat?Prof. DR. Musdah Mulia pernah ditanya Kembali kepada persoalan jilbab. Anda sendiri pakai jilbab, tapi kenapa Anda keberatan?Musdah Mulia menjawab Saya keberatan kalau jilbab itu dipaksakan kepada semua orang. Jadi berarti tidak ada kebebasan orang untuk memilih, karena di dalam Islam sendiri pandangan tentang jilbab itu ada banyak pendapat. Ada yang mengatakan bahwa jilbab itu seperti kerudung yang saya pakai, ada pandangan lain yang mengatakan bahwa jilbab itu harus menutup seluruhnya, hanya matanya saja yang tidak. Ada yang mengatakan juga bahwa yang namanya busana muslim itu ya cukup semua bagian-bagian yang seharusnya tertutup. Kalau sudah pakai rok yang agak panjang sedikit di bawah lutut, itu sudah sesuai dengan ajaran islam, karena itu sudah dianggap bisa menutupi hal-hal yang bersifat prinsip tentu igauan Musdah Mulia yang tidak benar sebagaimana pernyataan Bpk Quraish Shihab. Aneh benar igauan Musdah Mulia, salah satu tokoh cendekiawan kaum liberal yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai keilmiahan. Akan tetapi ternyata pernyataan-pernyataan kontroversial mereka juga sangat jauh dari nilai ilmiah, bahkan mencampakan nilai ilmiyah. Coba sebutkan ulama siapa yang menyatakan bahwa rok yang agak panjang sedikit di bawah lutut sudah sesuai dengan syari'at Islam?? Ataukah ulama yang dimaksud oleh Musdah Mulia adalah Bpk Quraish Shihab??Ketiga Pendalilan Bpk Quraish dengan istri Buya Hamka yang tidak memakai jilbab. Tidaklah lazim jika Istri Buya Hamka tidak memakai jilbab maka berarti Buya Hamka membolehkan membuka jilbab. Apa yang dipraktekan oleh istri seorang ustadz tidak mesti seluruhnya dibenarkan oleh sang ustadz, kecuali jika ada pernyataan dari sang ustadz yang menyetujui atau mendukung kesalahan istrinya tersebut. Jika setiap perbuatan istri ustadz melazimkan pembenaran dari sang ustadz, maka seorang bisa berdalil untuk kafir karena istri Nabi Luth 'alaihis salam dan istri Nabi Nuh 'alaihis salam adalah kafir?Bahkan untuk menguatkan argumennya maka Bpk Quraish Shihab mengesankan bahwa jilbab dahulu tidak dikenal oleh wanita-wanita Muhammadiah dan wanita-wanita NU. Bpk. Quraish Shihab berkata Eh ini orang pakai jilbab sejak tahun berapa toh ini? kira-kira 20-30 tahun belakangan ini... Dulu itu istrinya Buya Hamka pakai jilbab atau tidak?...Aisyiyyah Muhammadiyah pakai jilbab atau tidak? Muslimat NU pakai jilbab atau tidak? Itu pertanda bahwa sebenarnya ulama beda pendapat Sekarang mari kita baca petikan dari tulisan Buya Hamka. Buya Hamka rahimahullah berkata Ketika penulis datang ke Tanjung Pura dan Pangkalan Berandan dalam tahun 1926 penulis masih mendapati kaum perempuan di sana memakai jilbab. Yaitu kain sarung ditutupkan ke seluruh badan hanya separuh muka saja yang kelihatan. Asal saja mereka keluar dari rumah hendak menemui keluarga di rumah lain, mereka tetap menutup seluruh badan dengan memasukkan badan itu ke dalam kain sarung dan salah satu dari kedua belah tangannya memegang kain itu di muka, sehingga hanya separuh yang terbuka, bahkan hanya mata penulis datang ke Makassar pada tahun 1931 sampai meninggalkannya pada tahun 1934, perempuan-perempuan yang berasal dari Salayer berbondong-bondong pergi ke tempat mereka jadi buruh harian memilih kopi di gudang-gudang pelabuhan Makassar, semuanya memakai jilbab, persis seperti di Langkat itu penulis pergi ke Bhima pada tahun 1956 penulis masih mendapati perempuan di Bhima jika keluar dari rumah berselimutkan kain sarung sebagai di Langkat 1927 dan di Makassar 1931 itu penulis pergi ke Gorontalo pada tahun 1967 40 tahun sesudah ke Langkat penulis dapati perempuan-perempuan Gorontalo memakai jilbab di luar bajunya, meskipun pakaian yang di dalam memakai rok moden. Pergerakan perempuan Islam di bawah pimpinan ulama-ulama pun membuat pakaian perempuan yang memegang kesopanan Islam yang tidak memperagakan badan. Gerakan Aisyiyah di Tanah Jawa atas anjuran Kiyai Dahlan selain memakai khimaar selendang yang dililitkan ke dada agar dada jangan kelihatan, dibawa pula untuk menutup saya mulai datang ke Yogyakarta pada tahun 1924 tiga tahun sebelum ke Tanjung Pura Langkat kelihatan di samping khimaar penutup kepala dan dada itu, Aisyiyah pun memakai jilbab di luarnya. Pakaian secara begini menjalar ke seluruh tanah air dalam pergerakan Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah mempertahankan khimaar dengan dililitkan pada muka dan kepala dengan kemas sekali; muka tidak ditutup. Seorang perempuan pergerakan yang sama pengguruannya dengan Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah, yaitu Rangkayo Hajah Rasuna Said tidak pernah lepas khimaar selendang itu dari kepala adat-istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari Haji, lalu memakai khimaar selendang yang dililitkan di kepala dengan di bawahnya dipasak dengan sanggul bergulung, sehingga rambut kemas tidak kelihatan. Tetapi di zaman akhir-akhir ini perempuan-perempuan modern yang mulai tertarik kembali kepada agama, lalu pergi naik haji, di Jakarta 1974 pernah mengadakan suatu mode show peragaan pakaian di Bali Room Hotel Indonesia memperagakan pakaian modern yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak menghilangkan rasa keindahan estetika. Beberapa tahun yang lalu tukang-tukang mode di Eropa membuat kaum perempuan setengah gila dengan keluarnya mode rok mini, yaitu rok yang sangat pendek sehingga sebahagian besar paha jadi terbuka. Tetapi kemudian mereka bosan juga sehingga timbul rok maxi, yaitu rok panjang atau longdress yaitu pakaian panjang sampai ke kaki. Perempuan-perempuan modern yang telah haji lalu memakai longdress atau rok panjang itu jadi stelan pakaian orang ayat yang kita tafsirkan ini jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya tidaklah ditentukan oleh al-Quran. Yang jadi pokok yang dikehendaki al-Qur’an ialah pakaian yang menunjukkan Iman kepada Tuhan, pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan baiknya kalau yang jadi ahli mode itu orang yang beriman kepada Tuhan, bukan yang beriman kepada uang dan kepada syahwat nafsu sex appleal. Sangat jelas dalam kutipan di atas bahwa Buya Hamka telah menemukan tradisi jilbab tersebar di tanah air Indonesia. Bahkan pada tahun 1926 yaitu sekitar 90 tahun yang lalu sudah ada wanita Indonesia yang memakai jilbab dengan menutup seluruh tubuhnya dan yang kelihatan hanyalah separuh wajahnya, bahkan hanya matanya !!. Demikian juga para ibu-ibu Aisyiah dari Muhammadiah menutup dada dan kepala mereka dengan disponsori oleh Bpk Kiyai Ahmad Hamka juga berpendapat bahwa kriteria jilbab telah ditentukan oleh al-Qur'an bukanlah bentuk pakaiannya atau modelnya, tapi pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki. Beliau juga mencela orang-orang yang membuat sembarang mode pakaian bagi wanita yang tidak sesuai dengan kriteria pakaian Islami. Beliau berkata Alangkah baiknya kalau yang jadi ahli mode itu orang yang beriman kepada Tuhan, bukan yang beriman kepada uang dan kepada syahwat nafsu.Jadi sebenarnya siapa yang keliru?, apakah Bpk Quraish Shihab yang menyatakan bahwa wanita Aisyiah tidak memakai jilbab, dan jilbab baru dikenal 20-30 tahun lalu..., ataukah Buya Hamka yang menyatakan bahwa wanita Aisyiyah sejak tahun 1924 90 tahun yang lalu telah memakai jilbab yang menutupi leher dan kepala mereka yang didukung oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah?? Taruhlah Buya Hamka berpendapat bahwa jilbab tidak wajib, lantas apakah pendapat ini bisa dipertanggung jawabkan secara dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah?, sementara para ulama tidak pernah ada yang menyatakan demikian?Jika ternyata pendapat tidak wajibnya jilbab baru muncul dari para pemikir kontemporer masa kini, maka melazimkan para ulama yang telah menjelaskan permasalahan wajibnya jilbab selama puluhan abad ternyata terjerumus dalam kesalahan dan kesesatan. Melazimkan para ulama klasik dari seluruh madzhab ternyata ngawur selama ini, hiingga datang Bpk Quraish Shihab yang menunjukkan kepada kebenaran !!Keempat Pernyataan Bpk. Quraish Shihab Jadi berjilbab baik, bagus. Tetapi boleh jadi sudah melebihi apa yang dikehendaki oleh Tuhan Ini adalah pernyataan yang menggambarkan dan mengesankan bahwa jilbab adalah bentuk beragama yang berlebih-lebihan, melebihi apa yang dikehendaki oleh tentu semakin menjadikan para wanita yang tidak berjilbab menjauh dari jilbab dan berani untuk mencibir wanita yang berjilbab. Seakan-akan jilbab adalah bentuk pakaian orang beragama yang berlebihan?!Lihat apa yang telah dikatakan oleh putri Bpk Quraish, yaitu Najwa artikel berikut Terhormat Meski Tanpa JilbabNajwa Shihab punya prinsip sendiri tentang jilbab. Bagi dia, hati “berjibab” lebih baik daripada sekadar jilbab kepala....KENDATI dalam keluarga religius, soal pakai jilbab tak menjadi keharusan. Menurut Nana Najwa Shihab-pen, kalau orang pakai jilbab itu bagus, kalau tak berjilbab juga tidak apa-apa. “Saya sih seperti itu dan saya percaya itu.”Karena memang, kata Nana, alasan ayahnya yang lebih penting adalah terhormat. Karena bukan berarti yang berjilbab tidak terhormat dan yang berjilbab sangat terhormat, karena kan masih banyak interpretasi tentang hal itu. Menurut Nana, yang penting tampil terhormat dan banyak cara untuk terhormat selain dengan jilbab. “Tidak pernah ada keharusan untuk berjilbab,” cara berpakaian seperti itu, kata Nana, tak pernah ada yang komplain. “Karena mungkin melihat ayah, kalau ditanya orang pendapatnya membolehkan, membebaskan berjilbab atau tidak. Jadi banyak alasan dari ayah saya. Kalau ada yang komplain, paling pas bercanda. Dan saya selalu bilang ya insyaallah mudah-mudahan suatu saat. Yang pasti hatinya berjilbab kok.”Nana kagum pada yang pakai jilbab dan menutup aurat. Dia ingin juga pakai jilbab, mungkin suatu saat. “Sampai saat ini saya tidak merasa ada kewajiban atau beban untuk berjilbab,” katanya, “Karena sejauh saya bisa menjalankan kewajiban saya sebagai muslimah tidak masalah berjilbab atau tidak.”Meski kini ada rekan reporter yang mengenakan jilbab, Nana tidak terpengaruh. Sampai saat ini, dia merasa apa yang dilakukannya sudah berada pada jalur yang benar. Kalau nanti ada hidayah lebih lanjut, atau kemantapan memakai jilbab, tanpa ragu Nana akan memakainya. “Apa yang dilakukan orang kan bukan berarti kita akan terpengaruh. Kalau sekarang ada yang berjilbab kemudian saya ikut. Menurut saya, rugi kalau berjilbab alasannya itu,” ujarnya. [Banani Bahrul-Hassan, Imam Shofwan] lihat Lihatlah pula cibiran yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdalla dalam twitternya, meskipun telah ia hapus, akan tetapi sudah pernah ia ungkapkan, dan igauan ini tidaklah mungkin keluar dari orang yang menghargai jilbabSungguh biadab Ulil Abshar menyamakan wanita yang bercadar dengan tempat sampah, justru ialah yang sampah. Berani menghina para wanita yang menjalankan syari'at aneh tokoh liberal ini??!!. Katanya menjunjung kebebasan, ternyata yang dijunjungnya hanya wanita yang membuka aurotnya, sementara wanita yang berjilbab dengan menutup aurotnya disamakan dengan tempat sampah.!!!. Penghinaan Ulil ini adalah penghinaan terhadap jutaan wanita yang bercadar, penghinaan terhadap para wanita yang ingin menutupi dirinya karena Allah, ingin mempersembahkan kecantikannya hanya untuk suaminya..., penghinaan terhadap istri-istri para ustadz, istri-istri para ulama, penghinaan terhadap ibunda kaum mukminin, istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tentu Ulil akan dengan PeDe berani mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah !!Bersambung inysaa AllahJum'at, 8 Agustus 2014Firanda Andirja MA Sejakakhir Desember 1966, petugas razia yang terdiri dari anggota ABRI melakukan penertiban terhadap mode 'Beatles' yang tengah naik daun kala itu. Alhasil sekitar 150 remaja dalam operasi. Selain itu, stigma buruk rambut gondrong juga dipompa lewat pemberitaan yang ditulis oleh media massa lewat judul-judul pemberitaan yang seolah “Saya diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya.”Itulah kalimat singkat dari Siti Raham binti Endah saat didapuk memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan dari wanita bersahaja itu mendapat sambutan besar dari ribuan hadirin. “Hidup Umi.. Hidup Umi!” pekik Hamka pun meneteskan air mata. Tangis haru dari ulama besar itu mengiringi langkah kaki sang kekasih turun dari panggung. Betapa besar pengorbanan istri tercintanya dalam masa-masa perjuangan. Siti Raham adalah garansi dari ketawadhuan di balik nama besar Buya cinta mereka dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham berusia 15 tahun. Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak itu, mereka sah menjadi pasangan suami di sebuah usia dimana para muda-mudi saat ini lebih sibuk memakan rayuan dan menenggak Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru. Tidaklah salah Allah menganugerahi manusia dengan kekuatan akal pikirannya. Buya Hamka kemudian menulis roman berbahasa Minang berjudul “Si Sabariyah”. Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku itulah Buya membiayai suka dan duka mewarnai perjalanan Buya Hamka merajut rumah tangga. Ulama Muhammadiyah itu tidak salah memilih Siti Raham. Di saat ujian datang, wanita kelahiran 1914 ini tampil sebagai motivasi baginya. Tanpa mengeluh maupun gundah.“Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi “Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka” karangan Rusydi kemiskinan dua sejoli ini terjadi ketika lahir anak ketiga, yaitu Rusydi Hamka. Dia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada anak pertama Buya Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. Besarnya beban ekonomi ditambah kerasnya penjajahan, membuat Hamka harus memutar otak untuk membiayai kondisi kekurangan, pergilah Hamka ke Medan untuk bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat sebagai jurnalis dan penulis. Nama penanya di Medan, ia banyak menulis artikel di berbagai majalah dan sempat menjadi guru agama saat beberapa bulan di Tebing Tinggi. Ia juga mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Dari situlah lahir Novel Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah. Di kota yang kini menjadi ibukota Sumatera Utara itu, Hamka tinggal selama sebelas penuturan Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan dan mengalami kesulitan-kesulitan hidup kedua orangtuanya. Di balik tanggung jawab sang ayah, tak lupa kesetiaan Siti Raham senantiasa bersamanya. Wanita tegar itu senantiasa menjalankan amanah Buya Hamka untuk menjadi istri yang taat suami dan mendidik anak-anak di kala Buya tiada di tengah keterbatasannnya, Hamka sukses menulis buku Tasawuf Modern, sebagai karangan bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat. Sukses di majalah, atas permintaan pembaca Tasawuf Modern diterbitkan sebagai sebuah buku untuk pertama kali tahun pertama buku Buya tersebut mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat sehingga mengalami cetak ulang beberapa kali pada penerbit di Medan. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Tasawuf Modern kembali diterbitkan di Jakarta sekitar tahun kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak. Itu belum ditambah beberapa kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Sebab dalam adat Minang, seorang Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara mengatakan Hamka adalah orang yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Buya Hamka bukanlah orang yang mewarisi bakat berbisnis. Hamka juga bukanlah orang yang hidup dari gaji pemerintah.“Ketika pindah ke Padang Panjang dalam suasana revolusi, ayah jelas tak punya sumber kehidupan tetap yang diharapkan setiap bulan,” terang Rusydi memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat, Buya Hamka kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu dilaluinya dengan Bendi maupun berjalan kaki. Kegiatan itu dilakukan selama berhari-hari tanpa pulang ke saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah Apakah anak-anak bisa makan? Hingga Buya Hamka sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk mengetahui apakah buah hatinya lapar atau sinilah, Siti Raham sukses menjalankan amanah sebagai Ibu. Agar anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menjual harta simpanannya. Beliau bukanlah wanita yang menjadikan perhiasan sebagai makhota. Karena makhota sejatinya adalah Buya Hamka dan kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di Medan terpaksa dijual di bawah harga demi membeli beras dan membayar uang sekolah anak-anak. Biarlah dirinya kesusahan, asal perut anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan kali dirinya meneteskan air mata, ketika membuka almarinya untuk mengambil kain-kain simpanannya untuk dijual ke pasar. Tak tega melihat istrinya terus menguras hartanya, Buya Hamka sontak mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual. Namun sang istri mencegahnya.“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin,” dalam keadaan sederhana Siti Raham masih mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja dilakukannya agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan masyarakat. Dari mulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah bila Buya Hamka hendak keluar. Karena cinta adalah melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, “’Kan yang Umi pidatokan itu kenyataannya saja.” Jikakau goreskan luka di hati ibumu, surga sudah bukan menjadi milikmu. Itulah 50 kata-kata Buya Hamka yang penuh makna dan menginspirasi banyak orang hingga saat ini. Tak hanya memberikan kata-kata tentang kehidupan saja, namun Buya Hamka juga memberikan kata-kata indah tentang ilmu, cinta, hingga iman.
24 Jan Disiplin dalam Berpikir Posted at 1654h in Goresan 1 Comment Foto pernikahan Buya Hamka dan Siti Raham. assalaamu’alaikum wr. wb. Segera setelah orang bicara soal kebebasan, mereka mendiskusikan batasan-batasannya. Itu petunjuk bahwa kebebasan yang seluas-luasnya tidaklah ada. Bukan manusia namanya jika bertindak seenaknya saja. Bahkan untuk berpikir pun ada kaidahnya, dan berpikir sebelum bertindak adalah salah satunya. Ada yang bilang, kebebasan manusia dibatasi oleh kebebasan manusia lainnya. Jadi, Anda bebas melakukan apa saja asal tidak melanggar kebebasan orang lain. Tapi pada kenyataannya, dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi ditingkahi dengan globalisasi, kondisi ideal semacam itu susah dibayangkan. Orang Barat mungkin merasa bebas saja berpelukan atau berciuman, namun jika itu dilakukan di tempat-tempat umum di negeri kita, alhamdulillaah masih banyak yang risih. Mungkin orang bisa ngeles dengan mengatakan, “Ini kan hak saya. Kalau Anda nggak suka, jangan lihat!” Tapi bukankah orang juga punya hak untuk melihat dengan matanya? Kalau Anda bertindak tidak senonoh di hadapannya, apa ia harus memaksakan diri melihat ke arah lain? Begitu juga kalau orang tertangkap basah berzina, lantas mereka mengatakan bahwa berzina atau tidak adalah urusan mereka sendiri, bukan orang lain yang tidak terlibat. Tapi kedua orang tua dari pasangan zina Anda lebih berhak terhadap anak mereka ketimbang Anda yang baru dikenalnya kemarin sore, dan mereka jauh lebih banyak terlibat dalam kehidupannya ketimbang Anda yang cuma mau membawanya ke tempat tidur. Yang lebih jelas metodologinya, yaitu menggunakan kaidah berpikir menurut ajaran Islam, menjelaskan secara runut tiga makna kebebasan. Kebebasan yang pertama identik dengan konsep fithrah, dan yang sejalan dengan fithrah itu adalah Islam. Dengan menghamba kepada Allah SWT, maka kita terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya, misalnya uang, gengsi, jabatan, syahwat dan sebagainya. Kebebasan yang kedua adalah kebebasan untuk memilih di antara jalan kebenaran maupun kesesatan. Islam secara pasti memberi manusia kebebasan untuk beriman atau kafir, tentu dengan segala konsekuensi yang mengikutinya dan kepastian akan datangnya waktu untuk mempertanggungjawabkan segalanya. Adapun kebebasan yang ketiga adalah kebebasan untuk melakukan ikhtiyar, yaitu memilih hal yang baik dari segala yang baik. Jadi, jika ingin dagangan Anda laku, Anda bisa memilih untuk memperbanyak amal ibadah, melatih karyawan, merekrut karyawan baru, mempercantik toko, atau mengambil pilihan-pilihan lainnya. Akan tetapi, Anda tidak boleh berkonsultasi ke dukun, sebab kemusyrikan bukan suatu kebaikan, dan karenanya, ia bukan pilihan. Dari sini dapat kita lihat bahwa kebebasan yang dibicarakan pun jelas ada batasannya. Kebabasan yang pertama dibatasi oleh kedudukan Allah SWT, yang kedua dibatasi oleh masa hidup di dunia, sedangkan yang ketiga dibatasi oleh kaidah-kaidah kebenaran berdasarkan ajaran agama. Dari sisi ini, rasanya kurang tepat juga jika agama disebut sebagai manual kehidupan’. Sebab, di mana-mana, buku manual hanya mengajari Anda cara menggunakan sebuah produk. Adapun jika produk itu rusak, mau tak mau Anda harus membawanya ke tempat layanan servis yang berkompeten. Buku manual juga tidak mengajari Anda caranya memodifikasi produk yang telah Anda beli. Jika hidup adalah produk’ yang sedang kita gunakan, maka agama tidak memandang Anda hanya sebagai konsumen, melainkan sebagai murid yang bisa berkembang menjadi ahli servis, bahkan bisa menjadi profesor yang pandai menciptakan produk baru yang lebih baik dari asalnya. Jika Bilal ra yang dulunya adalah budak Ethiopia saja bisa menjadi salah seorang sahabat terhebat, apa alasan Anda untuk mengatakan bahwa hidup Anda tak mungkin berubah? Islam tidak hanya mengajari kita bahwa menyuap makanan harus dengan tangan kanan, tapi juga menjelaskan bagaimana menyikapi makanan yang terhidang. Kaidah-kaidah yang berlaku dalam hal ini, antara lainnya makan yang halal dan baik, ambil yang terdekat, habiskan yang sudah diambil, jangan ambil makanan yang tidak disukai, tapi juga jangan dicela. Menentukan mana makanan yang haram dan halal pun ada kaidahnya juga. Sekarang, virus mematikan menyebarluas dari sebuah daerah di Cina yang dikenal nyaris tidak memiliki kaidah dalam makan; babi, anjing, kodok, kelelawar, tikus, semuanya dimakan. Ada Binatang yang dimasak dalam keadaan hidup, bahkan mereka juga tak segan mengunyah dan menelan binatang itu dalam keadaan hidup! Dengan berlaku demikian, adakah kebebasan yang mereka nikmati, ataukah kemalangan belaka? Jelaslah bahwa berpikir tanpa kaidah adalah penghinaan terhadap akal sehat itu sendiri. Sebab, akal itu memang tidak menghendaki kita berbuat bebas. Bukanlah suatu kebetulan jika kata “aql” dalam Bahasa Arab terambil dari akar kata yang maknanya adalah “tali pengikat unta”. Dengan demikian, istilah akal bebas’ yang kerap digunakan oleh kaum liberalis menjadi sangat absurd, sebab akal semestinya justru membuat manusia menjadi tidak bebas melakukan apa saja. Mereka yang tidak berakal, atau yang disindir dengan kalimat “afalaa ya’qiluun” tidakkah kamu berpikir? dalam Al-Qur’an, tentunya bukanlah manusia yang tak berotak atau tak mampu berpikir, melainkan karena pikirannya itu tidak berkaidah, tidak mengikatnya pada kebenaran, atau tidak menjauhkannya dari kejahatan. Kelompok Islam liberal di Indonesia sudah sangat tersohor dengan cara berpikirnya yang tidak pernah disiplin. Mereka biasa menggunakan nama “Islam liberal” yang masih mengandung kata “Islam”, tapi sehari-harinya mengatakan bahwa semua agama sama, semua agama benar, bukan hanya Islam yang benar, dan diam-diam juga sering mengkritisi ajaran Islam yang artinya, menganggap bahwa Islam itu sebenarnya salah. Banyak orang yang mengaku pendukung paham Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa Islam itu adalah kepasrahan, dan semua yang pasrah kepada Tuhan berarti Muslim. Kadang-kadang mereka mengundang tokoh-tokoh agama lain dalam acara-acaranya. Anehnya, tokoh-tokoh itu tidak pernah mereka sebut Muslim, padahal yang demikian itu sesuai dengan kaidah yang mereka buat sendiri. Mungkin, diam-diam, mereka pun tahu bahwa tokoh-tokoh itu juga sebenarnya tak mau disebut Muslim, sebab mereka meyakini agamanya sendiri sebagai satu-satunya yang benar. Setiap bulan Desember, umat Muslim disibukkan dengan perdebatan seputar ucapan selamat Natal. Yang paling menggelikan adalah ungkapan bahwa Natal pada tanggal 25 Desember itu adalah Maulid Nabi Isa as. Tinggalkanlah dulu perdebatan soal benar-tidaknya Nabi Isa as lahir pada tanggal itu, karena sudah banyak yang membahasnya. Andaikan benar hari itu bertepatan dengan kelahiran Nabi Isa as, lantas mengapa umat Muslim harus mengucapkan selamat kepada umat Nasrani? Bukankah, menurut ajaran Islam, Isa as adalah Nabi, dan bukan anak Tuhan seperti kepercayaan kaum Nasrani? Jika demikian, maka bukankah umat Muslim yang sesungguhnya adalah pewaris Nabi Isa as, dan bukan mereka? Dan jika memang hari itu adalah Maulid Nabi Isa as, apakah semestinya kita merayakannya dengan saling bertukar ucapan selamat? Padahal, Maulid Nabi Muhammad saw saja tak pernah dirayakan dengan cara seperti itu! Rahmah El Yunusiyyah, pendiri Sekolah Diniyah Putri Padang Panjang, lahir tahun 1900. Lemahnya kaidah kaum Sekuler di negeri ini sangat terekspos ketika mereka mulai berkomentar tentang segala hal yang berbau Arab. Jilbab dibilang budaya Arab, taat pada agama dibilang kearab-araban, dan kalau ngotot menerapkan ajaran Islam dalam urusan bernegara, kita akan langsung disuruh enyah ke Arab. Anehnya, ketika ada putri atau yang disangka putri Arab tak berjilbab, mereka juga yang berkata, “Tuh, orang Arab saja nggak berjilbab!” Sejak awal, Islam memang bukan budaya Arab. Banyak ajaran Islam yang tidak sejalan dengan budaya Arab jahiliyyah, dan karenanya, Rasulullah saw dahulu dimaki sebagai orang yang memecah-belah bangsa dan membenci ajaran nenek moyangnya sendiri. Kaum sekuler mencela umat Muslim karena dianggap mengikuti budaya Arab. Anehnya, saat ada orang Arab yang tidak menjalankan ajaran Islam, mereka juga yang menyuruh kita untuk mengikuti. Benarlah apa yang dikatakan oleh seorang teman mereka bukan membenci Arab, melainkan hanya membenci Islam. Belakangan, perdebatan soal jilbab kembali mengemuka, lantaran Sinta Nuriyah, istri Gus Dur, mengatakan bahwa jilbab itu tidak wajib. Sebagian umat Muslim pun bertambah kebingungannya ketika dikatakan bahwa istri Buya Hamka pun tidak berjilbab, melainkan hanya berkerudung. Menurut saya, ketimbang membicarakan berjilbab-tidaknya istri Buya, lebih baik kita disiplinkan cara kita berpikir. Jika Anda tidak mau menerima pendapat yang hanya dilandaskan oleh perbuatan atau perkataan istrinya Gus Dur, lantas mengapa Anda gelisah karena perbuatan itu pun jika memang benar dari tokoh lain? Sejak kapankah perbuatan seseorang selain Rasulullah saw menjadi dalil mutlak kebenaran dalam agama ini? Jika ada yang melakukannya, maka ia telah keliru dalam berpikir, dan kita tidak perlu menurutinya. Kalau masih gelisah juga, sesekali mampirlah ke pesantren-pesantren NU yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Saksikan sendiri bagaimana penampilan para ustadzah dan santriwatinya. Adakah mereka melepas jilbabnya karena ucapan Sinta Nuriyah? Jika masih butuh penegasan, boleh juga membaca tanya-jawab tentang kewajiban jilbab di laman situs Pesantren Tebuireng, Jombang, yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari. wassalaamu’alaikum wr. wb.
AriKurniawan Selasa, 26 Maret 2019 08:15:08. Laudya Cynthia Bella mendapat peran sebagai Siti Raham, istri Buya Hamka. (Instagram / Falcon Pictures) TABLOIDBINTANG.COM - Laudya Cynthia Bella siap memulai proses syuting film terbarunya yang berjudul Buya Hamka. Di film garapan sutradara Fajar Bustomi terebut, Bella mendapat peran sebagai Siti

- Belum lama ini, perdebatan jilbab sempat mencuat, terkait foto Pahlawan Nasional Tjut Meutia dalam uang baru pecahan Dalam uang pecahan baru itu, terpampang foto Tjut Meutia tanpa mengenakan jilbab. Beberapa pihak yang merasa keberatan, bahkan mengajukan protes, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR Aceh dari fraksi Partai Amanat Nasional, Asrizal H Asnawi. Walaupun pihak keluarga Tjut Meutia tak keberatan dengan gambar leluhur mereka tak berjilbab. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jilbab adalah kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada. Istilah ini memang baru populer di zaman moderan. Di awal abad XX, istilah jilbab belum banyak dipakai. Penggunanya di Indonesia juga kala itu sulit pahlawan wanita di masa lalu menunjukkan hanya segelintir yang mengenakan jilbab. Selain Tjut Meutia, Tjut Njak Dien juga tak berjilbab. Setidaknya berdasar foto koleksi Tropenmuseum yang dipotret setelah penangkapannya di 1905. Intinya, tak semua pahlawan nasional perempuan beragama Islam berjilbab di masa awal abad XX. “Jilbab, blus, dan celana masa kini tidak ada dalam foto-foto dari tahun 1880-an dan 1890-an,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia 2008. Kesimpulan itu didapat setelah dia mengamati foto-foto lawas era 1880-1890-an. Berdasarkan foto-foto lawas, hanya Siti Walidah alias Nyi Ahmad Dahlan dan Rangkayo Rasuna Said yang terlihat memakai jilbab. Dua perempuan ini tak berjuang medan perang, tetapi merupakan intelektual pergerakan nasional di zaman kolonial. Di zaman kolonial, jilbab bukan penutup kepala populer yang dipakai oleh kaum hawa. Pada masa itu, lebih mudah ditemukan perempuan-perempuan Abdul Munir Mulkhan dalam Kiai Ahmad Dahlan Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan 2010, Ahmad Dahlan “yang mentradisikan pemakaian kerudung bagi kaum perempuan yang belakangan merebak dalam tradisi atau model jilbab.” Tentu saja tidak langsung semua perempuan beragama Islam mulai banyak yang berkerudung, apalagi berjilbab. Di era pergerakan nasional 1930-an, jumlah perempuan berkerudung atau berjilbab juga masih belum banyak. Rangkayo Rasuna Said berjilbab seperti gurunya ketika di Diniyah Putri, Rahmah El Yunusiyah. Mengenai jilbab yang dipakai Rasuna, dalam memoarnya, Hadely Hasibuan Memoar Mantan Menteri Penurunan Harga 1995, Hadely Hasibuan menuliskan kekagumannya pada Rasuna Said. “Rangkayo yang cantik ini, konon sehari-harian, dari pagi sampai malam selalu mengenakan baju kurung dan jilbab.” Menurut AA Navis dalam Surat dan Kenangan Haji 1994, jilbab yang dipakai Rasuna Said digolongkan sebagai jilbab jenis mudawarah. Pada dekade yang sama, Siti Raham, istri Buya Hamka, juga memakai jilbab yang hampir sama dengan Rasuna. Setelah era pergerakan nasional, yang berlanjut di masa revolusi bahkan hingga film-film dakwah ala Rhoma Irama bertaburan di era 1970-1980, jilbab dan kerudung masih belum populer di Indonesia. Dalam beberapa film yang dibintangi Rhoma Irama, perempuan yang jadi pasangan Raja Dangdut itu hanya digambarkan mengenakan pakaian sopan, tanpa jilbab ataupun kerudung. Dalam film Perjuangan dan Doa yang dirilis 1980, tokoh sosok pelajar madrasah bernama Laila yang diperankan Rika Rachim hanya memakai kerudung saja. Memasuki periode 1980an, penggunaan jilbab mulai semarak. Makin banyak siswi sekolah yang mengenakan jilbab, dan muncul wacana untuk memisahkan siswi berjilbab dan tidak berjilbab. Pada 1979, siswi-siswi berjilbab di Sekolah Pendidikan Guru SPG Negeri Bandung menolak dipisahkan dengan kawan-kawan perempuan mereka yang tak berjilbab. Ketua MUI Bandung kala itu EZ Muttaqien berhasil menggagalkan pemisahan itu. Pemerintah Orde Baru memang dikenal sebagai pemerintah yang gandrung pada keseragaman, termasuk dalam berpakaian. Pada 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah Dikdasmen, Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan Surat Keputusan 052/C/Kep/ tentang Seragam Sekolah Nasional yang berujung pada pelarangan jilbab di sekolah negeri Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 2008, gerakan-gerakan Islam yang berseberangan dengan Orde Baru merasa, “pemerintah Orde Baru selalu menghalang-halangi umat Islam untuk menerapkan syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari, misalnya melarang para perempuan memakai jilbab untuk menutupi auratnya.”Tentu saja Soeharto tak bisa berlama-lama menghalang-halangi jilbab. Dia tak mau terus menerus ditentang diam-diam oleh orang Islam seperti sosok Abdurrahman Wahid yang pimpinan NU itu. Soeharto pun akhirnya merangkul orang-orang Islam lainnya. Pada kala itu, Soeharto menyetujui didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ICMI pada Desember 1990. Lalu memperbolehkan jilbab dipakai dan berkembang, bahkan belakangan ini ada istilah Gen-M untuk menggambarkan sebuah generasi.“Usaha Soeharto mendapatkan dukungan Islam menghasilkan sejumlah konsesi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Perempuan diperbolehkan memakai jilbab,” tulis Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 2008. Berdasar Surat Keputusan nomor 100/C/Kep/D/ tahun 1991, Dirjen Pendidikan dan Menengah memperbolehkan lagi siswi-siswi di sekolah-sekolah negeri sekuler memakai jilbab. Seperti ditulis Eko Prasetyo dalam Astaghfirullah! Islam Jangan Dijual 2007, “jilbab kemudian trend mode.” Dari tahun ke tahun, setelah diperbolehkan perlahan-lahan pemakainya semakin banyak. Para wanita bahkan semakin kreatif dalam memodifikasi jilbab. Tren ini dimulai dari ujung masa Orde Baru, hingga kini. - Sosial Budaya Reporter Petrik MatanasiPenulis Petrik MatanasiEditor Suhendra

BuyaHAMKA dalam tafsir Al-Azhar, saat menjelaskan ayat 221 dari Al-Baqarah mengingatkan perkara tersebut. "Apabila Islam telah menjadi keyakinan hidup, hendaklah hati-hati memilih jodoh. Sebab istri adalah akan teman hidup dan akan menegakkan rumah tangga bahagia yang penuh dengan iman, menurunkan anak-anak yang shalih," tulis Buya HAMKA. SUARA BANDUNG - Ada seorang yang bertanya kepada Buya Yahya, terkait dosa istri yang paling besar itu seperti apa. Sontak Buya Yahya menjawab hal tersebut, dengan mengatakan dosa itu pada dasarnya dibenci oleh Allah SWT. Karena menurut Buya Yahya, dosa apapun jikalau pelakunya tersebut meremehkan, maka akan menjadi besar. Tidak hanya itu, menurut Buya Yahya jikalau meremehkan dosa, maka pelaku tidak akan menyadari perilakunya tersebut, maka dari itu dapat menjadikan dosa besar. Baca JugaIni Urutan Film Sebelum Nonton Spider-man Across the Spider Verse, Lengkap dengan Link Nonton "Semua dosa dibenci oleh Allah, Allah tidak senang dengan dosa, dan dosa gede itu adalah disaat kita meremehkan dosa tersebut, dosa apapun kalau anda remehkan jadi gede," ucap Buya Yahya dikutip, Rabu, 7/6/2023. Lantas bagaimana tanggapan Buya Yahya terkait dosa istri yang besar kepada suami? Menurut Buya Yahya, dosa yang paling besar bagi istri adalah druhaka kepada suaminya. Tetapi, Buya Yahya dalam hal ini cukup adil, karena ia membeberkan juga dosa besar bagi suami terhadap istrinya. Menurut Buya Yahya, dosa besar bagi suami merupakan zalim kepada istrinya. Baca JugaCEK FAKTA Eric Abidal Tolak Gaji dari PSSI demi Latih Timnas Indonesia U-19 "Dosa yang paling gede adalah durhaka kepada suaminya, kalau bertanya apa dosa suami, yang paling gede zalim kepada istrinya," jelasnya Buya Yahya. * Sumber Youtube Al Bahjah TV
\n \n\nistri buya hamka tidak berjilbab
. 338 149 265 227 42 163 458 167

istri buya hamka tidak berjilbab