Hey there, time traveller! This article was published 25/10/2022 234 days ago, so information in it may no longer be current. A former Buddhist monk who subjected two young girls to years of sexual abuse at a Winnipeg temple has been sentenced to 11 years in prison. Southone Silaphet, 74, was convicted after trial last year of two counts of sexual interference. Silaphet abused the two victims between 2016 and 2019, during visits to the Wat Lao Xayaram temple on Sinclair Street where he had been head monk for more than 12 years. Silaphet abused the two victims between 2016 and 2019 during visits to the Wat Lao Xayaram temple on Sinclair Street where he had been head monk for more than 12 years. Jesse Boily / Winnipeg Free Press files Silaphet’s actions represented a severe betrayal of trust and caused the victims to question their culture and faith, provincial court Judge Stacy Cawley said in a 24-page decision released earlier this month. “He was trusted because he was head monk — a position that would garner respect and imply morality,” Cawley said. “His actions were opposite to what would be expected of a dedicated religious leader. His conduct was exacerbated by the fact he sexually abused the victims in the temple, a sacred place, where the children should have felt safe.” Silaphet employed “a high degree of manipulation” in abusing his victims, telling one girl his acts of molestation would keep the spirit of her dead grandmother alive, Cawley said. “He told her it would be disrespectful to her grandmother to not let him do what he wanted,” Cawley said. “Silaphet’s exploitation of her love of her grandmother and her faith was insidious.” Silaphet was arrested in 2019 after the girl told her school guidance counsellor she had been sexually abused. The abuse, which included kissing, fondling underneath her clothes and biting, had happened “for as long as I really remember,” the girl told an investigator in a police video statement provided to court at trial. Silaphet, who lived at the temple, a converted fire hall, abused the girl in an upstairs office equipped with security cameras that allowed him to see people coming up the stairs, the girl said. On one occasion, the girl said, Silaphet saw a man walking up the stairs and made the girl hide in a closet until he had left. “It was confusing. That’s when I kind of realized that this was wrong, that it wasn’t supposed to be happening,” she said. A second pre-teen victim said Silaphet repeatedly touched her under her clothing “in wrong places” while the two were alone in his upstairs office. “He would tell my mom that he just wanted us to pray, even though it wouldn’t be praying,” the girl said in a separate police video interview. Silaphet testified at trial with the help of a Laotian interpreter and flatly denied abusing the girls, saying he was never alone with them for more than a few minutes. Cawley, in convicting Silaphet in December, rejected his testimony as self-serving, saying it “appeared tailored to minimize the contact he had with the complainants and the degree of his favouritism.” Defence lawyer Kathy Bueti had urged Cawley to consider a sentence of no more than 30 months, arguing, in part, Silaphet has already lost his job and home as a result of his crimes and has suffered the stigma of being a convicted sex offender. Such impacts are the natural consequences of his actions, Cawley said. “It should come as no surprise to Mr. Silaphet that he would lose the position of head monk and all the privileges that he enjoyed because he abused that position when he sexually violated children in the temple.” Dean PritchardCourts reporter Someone once said a journalist is just a reporter in a good suit. Dean Pritchard doesn’t own a good suit. But he knows a good lawsuit. Read full biography
Sumberlain mengatakan , Syekh Mansyur Cikadueun adalah ulama besar yang berasal dari Jawa Timur yang hidup semasa dengan Syehk Nawawi al Bantani. Kedua tokoh tersebut terlibat langsung dalam perang Diponogoro ditangkap oleh Belanda, Syekh Mansyur dilkejar oleh Belanda dan akhirnya menetap di kampung Cikadueun, Syekh Nawawi kemballi ke Mekkah.
Humas – Pandeglang 21/03 “Mengenal tokoh Syekh Maulana Mansyuruddin Cikadueun – Pandeglang” PANDEGLANG, Bila anak bangsa sudah mulai melupakan sejarahnya, maka hilanglah kebesaran generasi bangsanya. Manusia adalah makhluk pelupa. Kemarin seharusnya menjadi sejarah hari ini. Hari ini menjadi sejarah esok hari. Dan esok menjadi sejarah untuk lusa yang lebih baik. Begitu seterusnya tiada berkesudahan. Tapi ternyata tidak berlaku untuk manusia-manusia pelupa. Fakta-fakta sejarah yang menunjukkan betapa signifikannya peran-peran Ulama dan Santri. Para Ulama dan Santri sudah memperhatikan sejarah mereka di esok hari. Tinggal kita sekarang, apakah akan melanjutkannya atau tetap nyaman menjadi manusia-manusia amnesia. Peristiwa sejarah yang terjadi di tengah bangsa Indonesia sampai hari ini, hakikatnya merupakan kesinambungan masa lalu yang mana fondasinya sudah dipancangkan kuat oleh para Ulama dan Santri. Dan tidak akan cukup kalau kita menuliskannya dalam lembaran artikel sederhana ini. Setidaknya, gambaran sederhana di atas bisa memantik kesadaran kolektif kita tentang sejarah. Berikut ini sebuah tulisan yang dibuat oleh Halwany didalam blognya , mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi referensi bagi generasi-generasi muda. ———————————————————————– Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Syekh Mansyuruddin. Menurut ceritanya Sang syekh adalah salah seorang yang menyebarkan agama Islam di derah Banten Selatan. Dengan peninggalannya berupa Batu Qur’an yang sekarang banyak berdatangan wisatawan untuk berzirah atau untuk mandi di sekitar patilasan, karena disana ada kolam pemandian yang ditengah kolam tersebut terdapat batu yang bertuliskan Al-Qur’an. Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sultan Haji, beliau adalah putra Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa raja Banten ke 6. Sekitar tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah berhenti dari kesutanan Banten, dan pemerintahan diserahkan kepada putranya yaitu Sultan Maulana Mansyurudin dan beliau diangkat menjadi Sultan ke 7 Banten, kira-kira selama 2 tahun menjabat menjadi Sultan Banten kemudian berangkat ke Bagdad Iraq untuk mendirikan Negara Banten di tanah Iraq, sehingga kesultanan untuk sementara diserahkan kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Pada saat berangkat ke Bagdad Iraq, Sultan Maulana Mansyuruddin diberi wasiat oleh Ayahnya, ”Apabila engkau mau berangkat mendirikan Negara di Bagdad janganlah menggunakan/ memakai seragam kerajaan nanti engkau akan mendapat malu, dan kalau mau berangkat ke Bagdad untuk tidak mampir ke mana-mana harus langsung ke Bagdad, terkecuali engkau mampir ke Mekkah dan sesudah itu langsung kembali ke Banten. Setibanya di Bagdad, ternyata Sultan Maulana Mansyuruddin tidak sanggup untuk mendirikan Negara Banten di Bagdad sehingga beliau mendapat malu. Didalam perjalanan pulang kembali ke tanah Banten, Sultan Maulana Mansyuruddin lupa pada wasiat Ayahnya, sehingga beliau mampir di pulau Menjeli di kawasan wilayah China, dan menetap kurang lebih 2 tahun di sana, lalu beliau menikah dengan Ratu Jin dan mempunyai putra satu. Selama Sultan Maulana Mansyuruddin berada di pulau Menjeli China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda sehingga diangkat menjadi Sultan resmi Banten, tetapi Sultan Agung Abdul Fatah tidak menyetujuinya dikarenakan Sultan Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Negeri Bagdad, karena adanya perbedaan pendapat tersebut sehingga terjadi kekacauan di Kesultanan Banten. Pada suatu ketika ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku-ngaku sebagai Sultan Maulana Mansyurudin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Akhirnya orang-orang di Kesultanan Banten pun percaya bahwa Sultan Maulana Mansyurudin telah pulang termasuk Sultan Adipati Ishaq. Orang yang mengaku sebagai Sultan Maulana Mansyuruddin ternyata adalah raja pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai Pulau Menjeli China. Selama menjabat sebagai Sultan palsu dan membawa kekacauan di Banten, akhirnya rakyat Banten membenci Sultan dan keluarganya termasuk ayahanda Sultan yaitu Sultan Agung Abdul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan di seluruh rakyat Banten Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh seorang tokoh atau Auliya Alloh yang bernama Pangeran Bu`ang Tubagus Bu`ang, beliau adalah keturunan dari Sultan Maulana Yusuf Sultan Banten ke 2 dari Keraton Pekalangan Gede Banten. Sehingga kekacauan dapat diredakan dan rakyat pun membantu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang sehingga terjadi pertempuran antara Sultan Maulana Mansyuruddin palsu dengan Sultan Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang yang dibantu oleh rakyat Banten, tetapi dalam pertempuran itu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa, dari kejadian itu maka rakyat Banten memberi gelar kepada Sultan Agung Abdul Fatah dengan sebutan Sultan Agung Tirtayasa. Peristiwa adanya pertempuran dan dibuangnya Sultan Agung Abdul Fatah ke Tirtayasa akhirnya sampai ke telinga Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli China, sehingga beliau teringat akan wasiat ayahandanya lalu beliau pun memutuskan untuk pulang, sebelum pulang ke tanah Banten beliau pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Alloh SWT di Baitulloh karena telah melanggar wasiat ayahnya, setelah sekian lama memohon ampunan, akhirnya semua perasaan bersalah dan semua permohonannya dikabulkan oleh Alloh SWT sampai beliau mendapatkan gelar kewalian dan mempunyai gelar Syekh di Baitulloh. Setelah itu beliau berdoa meminta petunjuk kepada Alloh untuk dapat pulang ke Banten akhirnya beliau mendapatkan petunjuk dan dengan izin Alloh SWT beliau menyelam di sumur zam-zam kemudian muncul suatu mata air yang terdapat batu besar ditengahnya lalu oleh beliau batu tersebut ditulis dengan menggunakan telunjuknya yang tepatnya di daerah Cibulakan Cimanuk Pandeglang Banten di sehingga oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan dikenal dengan nama Keramat Batu Qur`an. Setibanya di Kasultanan Banten dan membereskan semua kekacauan di sana, dan memohon ampunan kepada ayahanda Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Sehingga akhirnya Sultan Maulana Mansyuruddin kembali memimpin Kesultanan Banten, selain menjadi seorang Sultan beliau pun mensyiarkan islam di daerah Banten dan sekitarnya. Dalam perjalanan menyiarkan Islam beliau sampai ke daerah Cikoromoy lalu menikah dengan Nyai Sarinten Nyi Mas Ratu Sarinten dalam pernikahannya tersebut beliau mempunyai putra yang bernama Muhammad Sholih yang memiliki julukan Kyai Abu Sholih. Setelah sekian lama tinggal di daerah Cikoromoy terjadi suatu peristiwa dimana Nyi Mas Ratu Sarinten meninggal terbentur batu kali pada saat mandi, beliau terpeleset menginjak rambutnya sendiri, konon Nyi Mas Ratu Sarinten mempunyai rambut yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, akibat peristiwa tersebut maka Syekh Maulana Mansyuru melarang semua keturunannya yaitu para wanita untuk mempunyai rambut yang panjangnya seperti Nyi mas Ratu Sarinten. Nyi Mas Ratu Sarinten kemudian dimakamkan di Pasarean Cikarayu Cimanuk. Sepeninggal Nyi Mas Ratu Sarinten lalu Syekh Maulana Mansyur pindah ke daerah Cikaduen Pandeglang dengan membawa Khodam Ki Jemah lalu beliau menikah kembali dengan Nyai Mas Ratu Jamilah yang berasal dari Caringin Labuan. Pada suatu hari Syekh Maulana Mansyur menyebarkan syariah agama islam di daerah selatan ke pesisir laut, di dalam perjalanannya di tengah hutan Pakuwon Mantiung Sultan Maulana Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru sambil bersandar bersama khodamnya Ki Jemah, tiba-tiba pohon tersebut menjongkok seperti seorang manusia yang menghormati, maka sampai saat ini pohon waru itu tidak ada yang lurus. Ketika Syekh sedang beristirahat di bawah pohon waru beliau mendengar suara harimau yang berada di pinggir laut. Ketika Syekh menghampiri ternyata kaki harimau tersebut terjepit kima, setelah itu harimau melihat Syekh Maulana Mansyur yang berada di depannya, melihat ada manusia di depannya harimau tersebut pasrah bahwa ajalnya telah dekat, dalam perasaan putus asa harimau itu mengaum kepada Syekh Maulana Mansyur maka atas izin Alloh SWT tiba-tiba Syekh Maulana Mansyur dapat mengerti bahasa binatang, Karena beliau adalah seorang manusia pilihan Alloh dan seorang Auliya dan Waliyulloh. Maka atas izin Alloh pulalah, dan melalui karomahnya beliau kima yang menjepit kaki harimau dapat dilepaskan, setelah itu harimau tersebut di bai`at oleh beliau, lalu beliau pun berbicara “Saya sudah menolong kamu ! saya minta kamu dan anak buah kamu berjanji untuk tidak mengganggu anak, cucu, dan semua keturunan saya”. Kemudian harimau itu menyanggupi dan akhirnya diberikan kalung surat Yasin di lehernya dan diberi nama Si Pincang atau Raden Langlang Buana atau Ki Buyud Kalam. Ternyata harimau itu adalah seorang Raja/Ratu siluman harimau dari semua Pakuwon yang 6. Pakuwon yang lainnya adalah 1. Ujung Kulon yang dipimpin oleh Ki Maha Dewa 2. Gunung Inten yang dipimpin oleh Ki Bima Laksana 3. Pakuwon Lumajang yang dipimpin oleh Raden Singa Baruang 4. Gunung Pangajaran yang dipimpin oleh Ki Bolegbag Jaya 5. Manjau yang dipimpin oleh Raden Putri 6. Mantiung yang dipimpin oleh Raden langlang Buana atau Ki Buyud Kalam atau si pincang. Setelah sekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah di banten dan sekitarnya, lalu Syekh Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang Banten. Hingga kini makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan.
Asalamualaikum.Sedulur Syech Mansyur mohon petunjuk tentang Silsilah ini? Hatur Nuhun
Cikadueun, – Sejarah Buyut Mansur atau Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sulthan Haji, beliau adalah putra Sulthan Agung Abdul Fattah Tirtayasa. Terletak di Desa Cikadueun, Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang, Banten. Nama Cikadueun berasal dari kata cai kakaduen yaitu air bekas minum orang yang kebanyakan memakan buah durian atau kadu bahasa sundanya. Air bekas pengobatan itu di buang ke kali, sungai kecil yang mengalir membelah kampung Cikadueun hingga jauh ke muara kali Cimoyan sampai ke laut Selat sunda, dan kali itu dinamakan kali Cikadueun. Salah satu cerita rakyat yang berkaitan erat dengan nuansa Islami di wilayah Banten adalah adanya sejarah Syekh Mansyuruddin Cikadueun. Syekh Maulana Mansyuruddin bagi warga Banten memang dikenal sebagai salah seorang ulama pemberani, cerdas, piawai dalam memainkan alat-alat kesenian bernafaskan Islam. Di masa kejayaan Syekh Maulana Mansyuruddin atau juga dikenal sebagai Ki Mansyur yang juga cakap dalam ilmu pertanian serta komunikasi, dan ditugaskan untuk menjaga kawasan Islam Banten. Menurut cerita sejarah abad ke 15 Syekh Mansyuruddin diangkat menjadi sulhtan Banten yang ke 7, kira-kira selama 2 tahun menjabat menjadi Sulthon Banten kemudian berangkat ke Bagdad Iraq untuk mendirikan Negara Banten di tanah Iraq, sehingga pemerintahaan kesultanan untuk sementara diserahkan kepada putranya yang bernama Pangeran Adipati Ishaq atau Sulthan Abdul Fadhli. Wasiat Sulhtan Agung Abdul Fattah Sebelum berangkat ke Bagdad Iraq, Sulthan Seykh Maulana Mansyuruddin diberi wasiat oleh Ayahnya, Sulthan AgungnAbdul Fattah ”Apabila engkau mau berangkat mendirikan Negara di Bagdad janganlah memakai seragam kerajaan, nanti kamu akan mendapat malu, dan kalau mau berangkat ke Bagdad untuk tidak mampir ke mana-mana harus langsung ke Bagdad, terkecuali engkau mampir ke Mekkah dan sesudah itu langsung kembali ke Banten. Setibanya di Bagdad, ternyata Sulthon Maulana Mansyuruddin tidak sanggup untuk mendirikan Negara Banten di Bagdad sehingga beliau mendapat malu. Didalam perjalanan pulang kembali ke tanah Banten, Sulthan Seykh Maulana Mansyuruddin lupa pada wasiat Ayahnya, sehingga beliau mampir di pulau Menjeli di kawasan wilayah Cina, dan menetap kurang lebih 2 tahun di sana, lalu beliau menikah dengan Ratu Jin dan mempunyai satu anak putra. Pengangkatan Sementara Sulthan Adipati Ishaq Konon menurut cerita Sulthan Adipati Ishaq anak dari Sulthan Syekh Maulana Mansyuruddin Banten terbujuk oleh Belanda sehingga diangkat menjadi Sulthan resmi Banten, tetapi Sulthan Agung Abdul Fattah sebagai kake tidak menyetujuinya, karena Sulthan syekh Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Negeri Bagdad, karena adanya perbedaan pendapat tersebut sehingga terjadi kekacauan di Kesultanan Banten. Saat kekacauan Pemerintahaan ke Sulthanan sedang berlangsung, suatu ketika ada seseorang yang baru turun dari kapal mirip dengan wajah Sulthan Syekh Maulana mansyuruddin dan mengaku-ngaku sebagai Sulthan Syekh Maulana Mansyuruddin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Akhirnya orang-orang di pesisir pantai membanyanya pulang ke Kesultanan Banten. Kepercayaan Masyarakat Masyarkat sekitar pisisir dan orang-orang kesulthanan percaya bahwa Sulthan Syekh telah pulang kembali, termasuk Sulthan Adipati Ishaq. Orang yang mengaku sebagai Sulthan Syekh Maulana Mansyuruddin ternyata adalah raja goib Siluman yang menguasai Pulau Menjeli Negeri sebrang. Selama menjabat sebagai Sulthan palsu dan membawa kekacauan di Banten, akhirnya rakyat Banten membenci Sulthan dan keluarganya termasuk ayahanda Sultan yaitu Sulthan Agung Abdul Fattah. Untuk menghentikan kekacauan yang terjadi di seluruh rakyat Banten, karena kepimpinan Sulthan palsu. Pada akhirnya Sulthan Agung Abdul Fattah memanggil Pangerang Tubagus Bu’ang untukn membantu meredahkan kekacauan kepimpinanan kesulthanan Banten. Tubagus Bu`ang adalah keturunan dari Sulthan Maulana Yusuf Sulthan Banten ke 2 dari Keraton Pekalangan Gede Banten. Pertempuran Sulthan Agung Dan Raja Jin Siluman Sulthan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang dan para rakyat kesulthanan setuju dengan ada peperangan untuk melawan Sulthan palsu, yakni, Raja Jin siluman dari Pulau Menjeli negeri sebrang, sehingga terjadi pertempuran antara Sulthan palsu dengan Sulthan Abdul Fattah dan Pangeran Bu`ang yang dibantu oleh rakyat Banten. Namun dalam pertempuran itu Sulthan Agung Abdul Fattah dan Pangeran Bu`ang mengalami kekalahan, karena melihat rakyatnya jadi korban. sehingga kalah pertempurannya, dan akhirnya Sulthan Agung Abdul Fattah di asingkan ke daerah Tirtayasa, dari kejadian itu Rakyat Banten memberi gelar kepada Sulthan Agung Abdul Fattah dengan sebutan Sulthan Agung Tirtayasa. Peristiwa Pertempuran Sulthan Agung Abdul Fattah Peristiwa pertempuran dan diasingkannya Sulthan Agung Abdul Fattah ke Tirtayasa akhirnya sampai ke telinga Sulthan Syekh Maulana Mansyuruddin di pulau Negeri sebrang, sehingga beliau teringat akan wasiat ayahandanya lalu beliau pun memutuskan untuk pulang, sebelum pulang ke tanah Banten beliau pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan pada Allah di Baitullah karena telah melanggar wasiat ayahnya, setelah sekian lama memohon ampunan, akhirnya semua perasaan bersalah dan semua permohonannya dikabulkan oleh Allah sampai beliau mendapatkan gelar kewalian dan mempunyai gelar Syekh di Baitullah. Setelah itu beliau berdo’a meminta petunjuk kepada Allah untuk dapat pulang ke Banten akhirnya beliau mendapatkan petunjuk dan dengan izin Allah beliau menyelam di sumur zam-zam kemudian muncul suatu mata air yang terdapat batu besar ditengahnya lalu oleh beliau batu tersebut ditulis dengan menggunakan telunjuknya yang tepatnya di daerah Cibulakan Cimanuk Pandeglang Banten. Setibanya di Kasultanan Banten, siluman dari Negeri sebrang itupun ketakutan dan lari, kono Jin siluman tersebut lari ke puncak gunung karang. Sehingga akhirnya Sulthan Syekh Maulana Mansyuruddin kembali memimpin Kesultanan Banten, selain memjadi seorang Sulthan beliau mensyiarkan Islam di daerah Banten dan sekitarnya. Awal Pernikahan Sulthan Syekh Maulana Mansyuruddin Dan Nyai Sarinten Dalam perjalanan menyiarkan islam beliau sampai ke daerah Cikoromoy lalu menikah dengan Nyi Mas Ratu Sarinten dalam pernikahannya tersebut mempunyai seorang putra yang bernama Muhammad Sholih yang memiliki julukan Kiai Abu Sholih. Setelah sekian lama tinggal di daerah Cikoromoy terjadi suatu peristiwa dimana Nyai Mas Ratu Sarinten meninggal dunia, konon katanya terbentur batu kali pada saat mandi, beliau terpeleset menginjak rambutnya sendiri, konon Nyai Mas Ratu Sarinten mempunyai rambut yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, akibat peristiwa tersebut maka Syekh Maulana Mansyuruddin melarang semua keturunannya yaitu para wanita untuk mempunyai rambut yang panjangnya seperti Nyai Mas Ratu Sarinten. Nyai Ratu Sarinten kemudian dimakamkan di pasarean cikarayu cimanuk. Sepeninggal Nyai Ratu Sarinten, lalu Syekh Maulana Mansyuruddin pindah ke daerah Cikaduen Pandeglang. Tak lama tinggal di Cikadeun lalu Syekh Maulana Mansyuruddin menikah kembali dengan Nyai Mas Ratu Jamilah yang berasal dari Caringin Labuan. Karomah Syekh Maulana Mansuruddin bershabat Dengan Harimau Menurut cerita yang berkembang, Syekh Maulana Mansyurudin terkenal sakti dan dapat bersahabat dengan harimau. Ketika Syekh Maulana Mansyuruddin berjalan kesebuah hutan lalu tiba tiba Beliau mendengar Aungan Harimau yang merintih kesakitan. Ketika dihampiri oleh Syekh Mansyurudin Harimau tersebut tengah terjepit pada suatu pohon besar. Lalu Syekh Mansyuruddin menolong Harimau tersebut melepaskan dari himpitan kayu, setelah dibebaskan harimau tersebut mengaung dan menunduk dihadapan Syekh Maulana Mansyuruddin. Ketika Syekh Maulana Mansyuruddin menyebarkan syariah agama islam di daerah selatan ke pesisir laut, saat perjalanannya di tengah hutan Pakuwon Mantiung Sulthan Seykh Maulana Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru sambil bersandar, tiba-tiba pohon tersebut menjongkok seperti seorang manusia yang menghormati, maka sampai saat ini pohon waru itu tidak ada yang lurus. Namun saat beristirahat di bawah pohon waru, terdengar rintihan suara minta minta tolong, ternyata suara itu berada dipinggir laut. Lalu Syekh Maulana Mansyuruddin menghampiri ternyata itu harimau yang kakinya terjepit, setelah itu harimau melihat Syekh Maulana Mansyuruddin yang berada di depannya, melihat ada manusia di depannya harimau tersebut pasrah bahwa ajalnya telah dekat, dalam perasaan putus asa harimau itu mengaum pada Syekh Maulana Mansyuruddin. Maka atas izin Allah tiba-tiba Syekh Maulana Mansyuruddin dapat mengerti bahasa binatang. Karena Syekh Maulana Mansyuruddin adalah seorang Auliya Allah. Maka atas izin Allah, harimau tersebut dapat dilepaskan, setelah itu Syekh Maulana Mansyuruddin berkata, ” saya sudah menolongmu, dan saya minta kamu dan anak buah mu berjanji untuk tidak mengganggu anak, cucu, dan semua keturunan ku. Kemudian harimau itu menyanggupinya dan akhirnya diberikan harimau itupun dipakaikan kalung di lehernya dan diberi nama si pincang atau Raden langlang buana atau Ki Buyud Kalam. Batu Qur’an Dalam catatan sejarah, awal mula munculnya pemandian Batu Quran diyakini saat Maulana Mansyuruddin hendak pulang ke Banten, saat minta pertolong Allah sambil membasu muka pada Air Zam-Zam, seketika itu datang, dan muncul bersama dengan air dari tanah yang tidak berhenti mengucur. Banyak orang menyakini bahwa air yang mengucur tersebut adalah air zam zam. Setelah sekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah banten dan sekitarnya. Syekh Maulana Manyuruddin meninggal dunia pada Tahun 1672M dan di makamkan di Desa Cikaduen, Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang, Banten. Hingga kini makam Syekh Maulana Mansyuruddin rampai dikunjungi wisata religi dari berbagai daerah. Biasanya saat bulan maulid, rajab, sawal, muaram, dan hendak memasuki bulan ramadhan. Demikianlah Wallahu a’lam bishawab. Terimakasih Semoga Bermanfaat. Author A Iwan Dahlani
BilaAnda mencari silsilah abuya dimyati pandeglang anda datang ketempat yang tepat. kami mempunyai 31 gambar tentang silsilah abuya dimyati pandeglang termasuk gambar, photo, wallpaper, dan lainnya. Di halaman ini, kami juga memiliki berbagai macam gambar. Seperti png, jpg, animasi gif, seni gambar, logo, hitam dan putih, transparan, dll.
Sapun awaking reuk make pasang panjang pasadun pok sablapunMeunag Ahung tujuh kaliAhung deuiAhung deuiAhung malunggaAhung malinggaAhung mangdegdegAhung mangandegAhung manglindu asihKa Ambu aing Sira mangambungKa Bapa aing Sira mangumbangPangjungjungkeun panglawungkeunKu Ambu aing sira manglaungKu Bapa aing sira mangumpangPangnyambungkeun aing saur pangngapakeun aing sabaKa luhur ka mega beureumKa mega hideungKa mega si karambanganKa mega si kareumbinganKa mega si karentenKa mega si kalambatanKa mega si kaleumbitanKa mega si antrawelaKa kocapnaKa ucapnaKa Puncakning ibunKa guru putra hiyang bayuKa nu weang nyukcruk ibunAhung.......Weweg sampeg, Mandala pageuhMangka tetep mangka langgengMangka langgeng tunggal tineungDatang hiji datang duaDatang tilu nungku nungkuDatang opat ngawun ngawunDatang lima lingga emasDatang genep nguren ngurenDatang tujuh lilimbunganPuluhan tanpa wilanganCalik calik nu geulisNyai Sri calik di dieuUnggah ka pasaran legaGeusan sia gagayahanGeusan sia gagayahanDi gedong manik mandala pageuhLemut teuing ku buruananaLesang teuing ku bojanaNu geulis ranggeuy mirikiniknikBar ngampar ku samak metrukGasan bujang kasangna bagusGasan Nyai tes netepanNgajepret palisir bodas
. 57 319 407 159 300 250 384 381
silsilah syekh mansyur cikadueun